SEJAK dulu (tahun `60-an) keberadaan Persib selalu memberi keuntungan bagi masyarakat. Di luar stadion jajaran tukang jualan banyak. Tukang makanan sebelum pertandingan dimulai, selalu diserbu pembeli. Kebanyakan tukang sate gule. Juga, tukang penganan yang lain selalu dibanjiri penonton. Di dalam stadion, yang berkeliling adalah tukang kacang suuk garing. Belum ada tukang minuman semacam air mineral. Yang ada tukang es lilin. Lumayan untuk penambal dahaga.
Tidak heran jika para bobotoh tetap setia mendukung mereka. Zaman itu, di lapangan hijau belum kelihatan ada bobotoh yang membawa bendera atau apa pun untuk mendukung timnya. Apalagi tulisan besar di spanduk.
Aksesori paling-paling baru kaus biru. Rata-rata beli sendiri-sendiri. Biasa saja, belum ada tulisan. Kostum Persib dulu seingat penulis adalah kaus biru dengan celana putih. Kaus kaki biru dengan sepatu hitam. Serasi sekali dengan lapangan hijau yang rumput dan permukaan tanahnya rata terawat.
Wasit selalu berkostum hitam-hitam. Itu peraturan di mana-mana. Beda dengan zaman sekarang. Kadang-kadang wasit berwarna oranye atau hijau muda.
Mang Adas
Nah, ini lain. Enggak ada di tim lain mana pun di Indonesia. Waktu itu jika para bobotoh tidak ingat sama Mang Adas, keterlaluan. Mang Adas ini ibaratnya maskot Persib. Dia selalu ada di lapangan mana saja selama Persib main. Tugasnya adalah memberi penerangan atau pengumuman dan apa saja dari pihak panitia.
Penampilan khasnya ialah dia selalu berkeliling mulai dari depan tribun utama sampai balik lagi ke awal. Di tangannya selalu tertenteng alat pengeras suara. Akan tetapi, bukan yang pakai batu baterai.
Alat pengeras suara Mang Adas terbuat dari kaleng. Bentuknya seperti toa, hanya lebih panjang dan besar. Jadi, itu murni suara dia. Lewat pengeras suara itulah, maskot kita ini mengumumkan apa saja yang perlu diketahui. Misalnya, ajakan supaya bertepuk tangan kalau terjadi gol. Tidak jarang dia juga mengumumkan nama-nama pemain Persib yang akan turun ke lapangan. Bahkan, sampai-sampai seruan agar jangan buang sampah sembarang. Beliau ini keluar beberapa menit sebelum pertandingan dimulai sehingga itu menjadi pertanda bagi penonton, bila dia sudah keluar, pertandingan akan segera dimulai.
Pada zaman baheula, ada kekhususan yang pasti tidak ada di zaman sekarang. Yaitu maraknya tukang jual totalisator atau toto sepak bola. Kartu tebakan totalisator yang bersifat adu untung itu dijual bebas tanpa takut ditangkap polisi. Waktu itu belum ada aturan pelarangan. Jadi, setiap orang penasaran juga untuk membelinya. Yang membeli tidak saja penonton dewasa, bahkan anak-anak sekolah pun ada yang iseng-iseng membeli.
Harganya murah dan hadiah uangnya lumayan besar. Angka-angka yang ditulis di secarik karton kecil itu (ukuran kartu nama) beragam. Rata-rata menuliskan skor setengah main dan paruh keduanya. Misalnya, pilihan 1-0 terus di bawahnya 3-1. Terus 1-1 lalu 4-2, dst. Skor yang mungkin-mungkin dan yang tidak mungkin terjadi. Misalnya ada lembaran toto itu yang menuliskan angka skor 2-0 lalu di bawahnya 8-1. Akan tetapi, yang ini kurang laku.
Yang paling laku ialah tebakan yang mungkin terjadi. Contohnya, 1-0 2-1; 0-0 1-0, yang kecil-kecil angkanya. Jadi sebelum masuk stadion, penonton biasanya membeli dulu kartu toto itu. Para penjual toto menggelar dagangannya di atas tanah, beralaskan selembar plastik. Berjejer di dekat pintu stadion. Atau di dekat tempat parkir. Banyak sekali. "Dagangan" mereka dipastikan hasil utak-atik sendiri. Mungkin juga modal sendiri. "Kehebatan" semua tukang jualan totalisator itu adalah mereka tetap setia menunggu penonton sampai pulang bubaran pertandingan menanti pemenang.
Jadi, sebelum kita membeli, tentu saja kita harus menghafalkan dulu di mana membeli, bagaimana raut wajah si tukang jualan, dsb. Kalau tidak, ya rugilah. Enggak seru.*** ( [ODANG DANAATMADJA]
Source: PR
Minggu, 14 Maret 2010
Label: Update
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar