Minggu (14/3) usia Persib tepat 77 tahun. Usia cukup tua bagi suatu klub sepak bola. Untuk mengingatkan perjalanan Persib zaman ”baheula”, "PR" menurunkan tulisan pemerhati olah raga Odang Danaatmadja yang terangkum dalam dua seri. Selamat membaca.
AH itu mah bukan berita. Jauh sekali sebelum ada nama-nama Kosin Sinthaweechai, Suchao Nutnum, Hilton Moreira, Gonzales, Bekamenga, Redouane Barkaoui, Julio Lopez, Alejandro Tobar, Nyek Nyobe, Cabanas, Jimenez, dll. Sejak tahun 60-an ketika saya masih SD, di tim Persib sudah banyak pemain dari luar suku Sunda yang menjadi andalan jika bertanding.
Sebut saja misalnya keluarga Timisela dari Ambon: Pieter Timisela, Hengki Timisela, dan Max Timisela. Ketiganya bermain penuh untuk Persib tanpa kagok oleh perbedaan kesukuan. Pieter atau Pice Timisela dan Hengki Timisela bermain bersama karena berada dalam satu zaman. Max agak ke sebelah sini.
Kiper Persib yang terkenal karena tubuh raksasanya yang tinggi besar zaman itu, Simon Hehanusa juga berasal dari Ambon. Belum lagi kiper yang berasal dari Makassar, Yus Etek yang berperawakan kebalikannya tetapi jangkung sekali, yang menjadi andalan Tim Nasional PSSI.
Keberadaan para pemain yang bukan suku Sunda sangat bagus bagi terjalinnya persatuan di antara sesama bangsa. Setidaknya, apabila Persib main, para penonton dari suku yang sama dengan para pemain tersebut akan ikut datang untuk memberi dukungan. Ini kan bagus, Tidak ada bedanya dengan jika ada pemain Persib yang datang dari Garut, otomatis warga Garut akan menonton.
Ketika masih bekerja di Jakarta, saya selalu menyempatkan menonton sendiri ke Senayan jika Persib zaman Adjat Sudrajat sedang bermain. Saya tidak akan merasa keueung karena nanti di Senayan bukan hanya saya yang orang Bandung. Masih banyak. Caranya, datangi saja kelompok penonton yang mengobrolnya memakai bahasa Sunda. Aman. Pernah suatu kali, saya bertanya kepada seorang penoton, "Bapak dari mana?" jawabnya. "Abdi ti Cikajang, hoyong nonton Zaenal Arif," katanya.
Itu menandakan ada daya tarik bagi kita untuk setidaknya memberi dukungan bagi pemain seasal daerah. Padahal, Cikajang itu sangat jauh dari Jakarta. Makanya jangan punya ide untuk hanya memagari Persib bagi pemain-pemain dari Tatar Sunda. Rugi penonton. Lihat sekarang, "bobotoh" Persib pasti akan datang juga dari tempat asalnya Hariono, Airlangga Sucipto, Budi Sudarsono, plus dari seluruh Jawa Barat yang juga malah mungkin kebetulan sedang berada di perantauan, di Kalimantan atau di Riau misalnya.
Zaman itu kalau mau "nyombong" dikit, Persib jarang kalah. Seringnya menang ketika melawan tim lain. Jika PSSI bertanding dengan tim luar negeri maka dari sebelas pemain PSSI, sudah dipastikan tujuh orang adalah pemain Persib. Siapa yang tak bangga? Ketujuh orang itu tersebar di semua posisi. Belakang, tengah, dan depan. Di depan ada Aang Witarsa, Omo, Wowo. Di tengah ada Fatah Hidayat, Parhim. Di belakang ada Sunarto, Yus Etek. Komplet. Setiap ada pembentukan Tim Nasional, empat atau lima pemain Persib pasti akan dipanggil, sehingga kalau dikatakan PSSI itu adalah Persib, tidak salah.
Itu zaman keemasan Persib. Beberapa pemainnya terkenal sampai ke luar negeri. Lebih-lebih di dalam negeri. Namun, zaman itu belum dikenal istilah pindah tim dengan bayaran tinggi. Semua tim sepak bola di tanah air kala itu masih amatir. Saya tidak tahu mereka apakah mendapat gaji atau tidak. Mungkin bonus baru ada kalau yang menonton full-house atau kalau timnya menang.
Pemain Persib yang paling ganteng waktu itu adalah Djudju. Jika Anda ingin membayangkan bagaimana wajah sang penjaga gawang ini, bayangkan saja sosok pemain naional bulu tangkis asal Bandung yang berpasangan dengan Rexy Mainaki. Bayangkan saja wajah Ricky Subagja. Betul. Mirip sekali. Sebab, sang kiper beken Persib itu adalah ayahanda Ricky Subagja, sehingga tidak heran jika sebelum berkarier di badminton, Ricky lebih banyak bermain sepak bola karena memang turunan dari atasnya.
Lapang UNI
Sejak zaman baheula, setiap Persib bertanding, penonton selalu membeludak. Mereka datang ke Bandung dari seluruh pelosok tanah Pasundan. Bukan hanya dari Majalaya, Ciparay, Ciwidey, Soreang, dan sekitarnya, tetapi juga dari Garut, Tasikmalaya, Malangbong, dll. Kalau pertandingn cuma skala regional, stadion yang dipakai paling Lapang UNI di Jalan Karapitan, lapang sepak bola milik PO UNI. Atau di Lapang SIDOLIG, Jln. Ahmad Yani, Lapang Persib sekarang. Kalau sudah skala nasional bahkan internasional, baru yang dipakai Stadion Siliwangi. Tiga lapangan itulah yang dari dulu selalu dipakai Persib untuk memainkan pertandingannya.
Ketika Lapang UNI dijual, otomatis hanya main di Siliwangi. Waktu itu Lapang SIDOLIG kondisi lapangannya tidak terlalu bagus. Jika tidak salah, terakhir kali pertandingan besar di sana adalah ketika tim Propelat bertanding melawan tim Jayakarta. Dari Propelat, bintangnya adalah Adjat Sudrajat, sedangkan dari Jayakarta sedang tenar-tenarnya Andjas Asmara yang rambutnya gondrong.*** (Bersambung) [ODANG DANAATMADJA]
Source: PR
Minggu, 14 Maret 2010
Label: Update
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar