MELIHAT pertandingan sepak bola tanpa suporter di pinggir lapangan rasanya bagai sayur tanpa garam. Semua terasa hambar dan mungkin bagi kesebelasan yang bertanding akan merasa asing dan menyakitkan menghadapi kenyataan bermain tanpa dukungan.
Namun kenyataannya, itu sering terjadi akibat ulah penonton yang berujung pada tindakan rasisme dan akibatnya klublah yang menjadi korban. Dalam aturan sepak bola yang diakui seluruh dunia menyebutkan bahwa klub harus bertanggung jawab atas segala tindakan suporternya.
Dukungan penonton berupa nyanyian, tulisan, yel-yel atau gerakan tubuh adalah hal yang lazim. Nyanyian penyemangat dari suporter dijamin akan membuat semangat pemain meledak-ledak. Namun, nyanyian itu bisa berubah menjadi petaka ketika syairnya berubah menjadi hujatan.
Entah dari mana, kapan, dan siapa yang mengubah lagu-lagu penyemangat itu berubah menjadi cacian yang penuh kebencian. Yang jelas, hampir pada setiap pertandingan dalam kompetisi sepak bola nasional lebih sering terdengar nyanyian ejekan kepada lawan daripada nyanyian penyemangat.
"Rasisme bukan hanya soal pelecehan terhadap suku atau warna kulit. Setiap tindakan, kata-kata, lagu, atau upaya lain yang mengandung unsur rasisme atau upaya penghasutan yang menimbulkan kebencian, sekecil apa pun, itu bisa digolongkan tindakan rasisme," kata Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan pada diskusi mengenai rasisme sepak bola di Cafe Persib Jln. Sulanjana Kota Bandung, Selasa (16/2)
Menurut dia lagu-lagu dan tindakan yang mengejek itu dianggap sudah menodai citra sepak bola, yang secara global sudah menyatakan perang terhadap aksi rasisme. Berdasarkan aturan FIFA bahkan menyebutkan wasit berhak menghentikan pertandingan jika lagu berisi ejekan terdengar saat pertandingan berlangsung.
"Lagu biasanya terdengar karena dinyanyikan beramai-ramai oleh penonton. Walaupun misalkan tindakan rasisme lolos dari wasit, pengawas pertandingan yang harus membuat laporan dan akan ditindaklanjuti oleh Komisi Disiplin," kata Hinca
Nyanyian ejekan pernah menjadi senjata makan tuan bagi tim kebanggaan warga Jawa Barat, Persib harus menerima hukuman percobaan berupa denda sebesar Rp 250 juta karena ulah bobotoh saat Persib menjamu Persebaya di Stadion Si Jalak Harupat Soreang, Kab. Bandung, 23 Januari lalu.
Berkaca dari sana, masih relakah suporter menyanyikan rasisme dan klubnya menghadapi sanksi terus-menerus. Mungkin sudah saatnya suporter sepak bola nasional bersikap dewasa dan menunjukkan sikap sebagai warga Indonesia yang ramah dan santun.
Bagi bobotoh yang notabene adalah warga Jabar yang terkenal kreatif mungkin sudah waktunya menghilangkan nyanyian hujatan dan mengembalikan nyanyian penyemangat bergema di stadion. Lagu penyemangat Persib ciptaan sendiri atau lagu penyemangat lain seperti "Halo-Halo Bandung" haruslah menjadi pengiring Maung Bandung menuju takhta juara.
Source: PR
Jumat, 19 Februari 2010
Label: Update
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar